Minggu, 03 April 2016

MELOMPAT LEBIH TINGGI



Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja keinginan untuk bisa melakukan  hal yang sebelumnya tidak aku suka, muncul begitu kuat. Tak tanggung-tanggung tiga sekaligus. Anehnya, aku justeru memperturutkan keinginan yang menelusup diam-diam dalam  dalam hati itu.  Ah, tentulah ia sudah menguasai labirin otakku dan dengan sesukanya memerintahkan syaraf-syaraf disana untuk mengambil keputusan agar aku melakukan  semua keinginan itu.

Pertama,
Aku ingin bisa memasak makanan enak yang sesungguhnya. Iya, makanan enak yang sesungguhnya, bukan makanan yang pura-puranya enak. Adalah dua putri kecilku, yang entah bagaimana lihai sekali memuji makanan apapun yang aku masak dan hidangkan untuk mereka.
“masakan bunda sedap, kakak doyan banget. Makasih ya bunda udah masakin kakak” sanjung putri sulungku yang berusia enam tahun. Padahal aku hanya memasak telur dadar dan sayur bening bayam untuknya.
“sama-sama nak, makasih juga karena kakak dan adek  udah makan dengan lahap” jawabku dengan senyum di bibir.
“iya macakan bunda enak, telol lebus adek cedap banget, nanti kalo udah abis macakin lagi ya bun” timpal si bungsu tak mau ketinggalan.
“iya sayang” sahutku sambil mencium gemas pipinya yang terlihat semakin tembem terdorong makanan yang memenuhi rongga mulut mungilnya.
Suamiku yang dari tadi memperhatikan kami tak kuasa lagi menahan tawanya, dengan terbahak-bahak ia berlalu meninggalkan kami setelah mendapati mataku melotot kearahnya. Bukankah siapapun yang memasaknya , rasa telur rebus tetaplah sama, begitulah kurang lebih makna tawa suamiku. Aku tersenyum meringis. Lihatlah, bahkan sebutir telur rebus saja sudah membuatku mendapat sanjungan begini rupa dari anak-anakku. Aku harus belajar memasak makanan lezat yang sebenarnya, tekadku. Sejak saat itu aku mulai rajin membaca artikel-artikel, nonton banyak tutorial masak memasak dan bergabung di sebuah cooking class.

Kedua,
Aku ingin bisa menjahit. Kali ini tiga sahabatku yang terbelalak tak percaya mendengar kalimat yang kuucapkan, ketika aku meminta mereka mencarikan tempat kursus menjahit.
“Ya, kalian tak salah dengar. aku akan belajar menjahit” tegasku.
Tawa mereka meledak.
“aku gak kebayang, batapa stresnya mesin jahit begitu kamu mendekatinya” ucap tiwi yang membuat tawa mereka makin tak berkesudahan. Aku ikut tergelak. Tiwi pasti teringat kejadian belasan tahun lalu ketika kami masih duduk di bangku SMP. Betapa putus asanya bu guru yang mengajar keterampilan, saat mengajariku menjahit. Hingga akhir semester tinggal akulah satu satunya siswa yang tak mengusai pelajaran, nan dalam hitungan tak sampai sepuluh menit selalu mematahkan selusin jarum mesin jahit. Aku memang tak pandai menjahit. Bahkan saat kuliah dan harus kost, ketika kancing bajuku copot, aku dengan sigap mencari lem alteco untuk merekatkannya kembali kebajuku. Percakapan dengan putriku akhir pekan lalulah yang membuatku nekad bertekad untuk bisa menjahit.
“Bunda, tadi di sekolah Syifa make tempat pensil baru bikinan bundanya, cantik banget deh bun. Kakak juga mau dong bun dibikinin tas dan tempat pensil sama bunda” ucap putriku berharap.
“Bunda belum bisa menjahit sayang” jawabku sambil mengusap kepalanya.
“Kalau pulang kerja bunda udah gak capek, bunda mau gak belajar bikin tempat pensil sama bundanya Syifa? Tar kakak bilangin ke bundanya syifa kalau bunda mau belajar” rayunya lagi.
Ini bukan kali pertama putriku bercerita tentang Syifa sahabatnya di Taman Kanak-kanak yang sering dibuatkan ini dan itu oleh bundanya. Dan sudah acap kali pula putriku itu menyampaikan keinginan untuk merasakan memakai pernak-pernik buatanku. Lalu muncullah tekadku untuk bisa mewujudkan keinginanya.
Tiwi sahabatku berjanji siang ini akan mendaftarkanku pada rumah belajar menjahit, sebuah komunitas ibu ibu muda yang awam soal jahit menjahit tapi punya tekad sepertiku.

Ketiga,
Aku ingin bisa berkebun, menanam ragam tumbuhan yang indah. Aku sadar betul kalau selama ini aku merasa tak punya bakat bercocok tanam. Tak satupun tumbuhan yang kutanam dapat hidup dan tumbuh. Bertolak belakang denganku, putri bungsuku justru memperlihatkan ketertarikannnya pada tumbuhan. Setiap hari tak bosan bosannya ia mengamati dan bermain dibawah pohon mangga yang merupakan satu satunya tumbuhan di halaman rumah kami. Tadi pagi, ia mengatakan keinginannya untuk menjadi pak tani, dan mengajakku untuk menanam banyak pohon.
“segera tangkap keinginan adek bun, ayo kita dukung dan fasilitasi. Biarkan anak-anak mengeksplor semua rasa ingin tahunya”, ucap suamiku ketika aku menceritakan keinginan si adek padanya. Baiklah, aku akan belajar dan mempersiapkan diri untuk mendampinginya.
Anak adalah keajaiban. Amboi lihatlah, betapa dua putri kecilku ini mampu merubah seorang aku. Tak salah jika ada ungkapan, anak adalah sumber kekuatan yang mampu membuat seorang ibu melompat lebih tinggi melebihi apa yang ia kira. Aku akan berjuang untuk terus memantaskan diri mendampingi anak-anakku sebagai seorang ibu.

*****


coretan kecil ini didedikasikan untuk sebuah keluarga hebat nan menginspirasi, keluarga bang Syaiha dan mba Ella bersama Alif sang pangeran kecil .


#HappyAniversaryBangSyaihaDanMbakElla
#OneDayOnePos
#MenulisSetiapHari

Selasa, 29 Maret 2016

AMANAH SEORANG IBU



Sudah hampir dua minggu ini keadaan rumah kami kacau balau karena sedang direnovasi, dan ini masih akan berlanjut hingga dua setengah bulan kedepan. Proses renovasi ini berlangsung dengan kondisi rumah tetap kami huni. Banyak pertimbangan yang membuat kami akhirnya mengambil keputusan itu. Selain tak mudah mencari rumah yang dikontrak hanya untuk tiga bulan, membayangkan pindahan dengan mengangkut banyak barang yang  tak lama kemudian akan  diangkut kembali pulang ke rumah, membuatku merasa badan sudah letih duluan.

Untuk melindungi dua putri kecil kami dari debu dan kegaduhan yang diakibat oleh pengerjaan renovasi ini, pagi-pagi sebelum para tukang tiba, mereka aku ungsikan kerumah mertua,  dititipkan pada kakek dan neneknya. Selepas magrib, saat lantai telah bersih aku pel dan sudah pula membenahi ini dan itu hingga rumah terasa sedikit nyaman, barulah anak-anak kami jemput untuk pulang.

Awal pekan lalu putri sulung kami yang berusia enam tahun  mengalami cidera yang membuatnya mendapat beberapa jahitan di kepala. Keadaan ini tanpa aku sadari membuat perhatianku lebih banyak tersita untuk membantu  si sulung. Beberapa kegiatan  ditunda bahkan ada yang aku batalkan.
Kesadaranku terhempas tatkala sore ini suamiku pulang tanpa putri kedua kami. Bukankah tadi pagi suamiku sendiri yang bilang pulang kerja akan langsung singgah ke rumah orang tuanya untuk menjemput anak-anak? Si bungsu menolak pulang, itulah yang terjadi. Putri bungsuku memilih menginap untuk tidur dalam pelukan kakek dan neneknya. Dengan begitu, maka ini adalah hari kedua bungsuku menolak diajak pulang. Aku tergugu. Tergesa aku masuk ke kamar dan berganti pakaian dengan mata panas terpanggang bulir-bulir air yang meluncur deras dari pelupuknya. Aku harus menjemput anakku. Tidakkah ia merindukan dekapanku? Benarkah ia tak lagi menginginkan ungkapan-ungkapan sayang yang saling kami ucapkan di pembaringan sebelum pulas tertidur? 

Suara sepeda motor yang berhenti di depan rumah membuatku menyambar kain apa saja untuk menutupi kapala, dan segera menghambur keluar. Aku hafal betul jika itu adalah suara sepeda motor ayah mertuaku. Aku dapati putri bungsuku duduk tak bergeming di atas sepeda motor itu. Aku mengulurkan tangan memeluknya. Ia diam saja tapi tak pula menolak tanganku. Aku dekap tubuh mungil itu dan membawanya masuk.

“Adek marah ya nak sama bunda ?” tanyaku tercekat.
Kepalanya bergerak mengangguk.
“Bunda gak sayang lagi sama adek, bunda sayangnya sama kakak. Adek mau jadi anak mbah aja” kalimat itu meluncur dari bibir mungil anakku yang bahkan usianya belum genap tiga tahun.

Tangisku pecah. Kupeluk erat tubuh kanak-kanak itu, sambil berulangkali membisikkan permintaan maafku di telinganya. Dadaku sesak. Apa saja yang telah aku lakukan sepekan terakhir ini hingga salah satu anakku merasa aku mengabaikanya? Ya Allah, ampuni aku.

Malam ini aku berbaring diantara kedua jantung hatiku. Kami saling bicara tentang banyak hal, yang kemudian kami tutup dengan sebuah kesepakatan. Bahwa mulai besok, aku dan kakak setiap hari akan menuliskan di secarik kertas tentang dua hal yang kami rasakan dihari itu. Pertama, sikapnya yang membuatku sedih dan kecewa, kemudian yang kedua, apa yang membuatku senang dan bangga padanya. Kakakpun akan menulisakan hal yang sama untukku. Untuk selanjutnya, isi tulisan itu akan menjadi pembahasan kami sebelum tidur. Untuk adek, karena belum bisa menulis maka ia akan menyampaikannya secara lisan.

Terima kasih ya Allah untuk pelajaran berharga yang Engkau berikan padaku melalui kejadian malam ini. Betapa aku harus selalu belajar agar menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku sendiri. Mungkin memang tak ada sekolah untuk menjadi ibu, tapi aku akan belajar langsung dari sekolah kehidupan yang Engkau berikan padaku. Maka, mampukan aku ya Illahi Rabbi untuk membaca taburan  hikmah disetiap peristiwa yang Engkau tetapkan untukku, agar kelak aku mampu mempertanggungjawabkan amanahMU dan agar aku tak kehilangan muka mengenang Rasulullah yang sejatinya teladan bagi hidupku.
Malam ini aku tidur setelah mencium kening kedua putriku yang pulas dengan bibir menyungging senyum.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Minggu, 27 Maret 2016

PENAMPILAN



Pagi kemarin menurut agenda, harusnya aku mengikuti sebuah Writing Workshop. Sejak tiga minggu yang lalu, aku sudah membayar biaya admisitrasi dan sudah pula mempersiapkan ini itu untuk mendukung kelancaranku selama mengikuti acara tersebut. Namun yang terjadi pada hari H-nya, aku memilih untuk menemani putri kecilku yang sedang menjalani masa pemulihan dari sakit  yang ia alami sejak awal pekan lalu. Dan adikku menyetujui permintaanku untuk menggantikan aku mengikuti workshop yang akan dilangsungkan selama delapan jam itu, setelah aku jelaskan jika workshop itu terbuka untuk umum.
Selepas magrib adikku telah tiba kembali dirumah.

“gimana acaranya, seru gak?”, tanyanku penasaran. 

Dia melemparkan seringai lebar untuk menjawab pertanyaanku dan mengulurkan sebuah buku yang masih tersegel rapi ketanganku.

“aku dapet buku ini karena panitia acara menilai tulisanku di workshop tadi masuk pada tiga tulisan terbaik” ujarnya.

“karena ini adalah kegiatan yang sedianya untuk uni, aku sudah menduga jika aku akan jadi satu-satunya peserta perempuan yang tidak berjilbab. Pesertanya banyak, dan dari tatapan orang-orang disana aku bisa tau kalau dintara mereka ada yang mengganggap aku orang yang nyasar masuk ke ruangan itu. Bahkan moderatornya tak menggubrisku ketika aku berkali-kali mengacungkan tangan untuk bertanya dibeberapa kali sesi tanya jawab, padahal jelas dia melihatku mengacungkan tangan lebih dulu. Nah, disesi akhir kegiatan, peserta diminta menulis premise singkat tentang buku yang kelak ingin ditulis. Selanjutnya panitia memilih tiga tulisan terbaik yang masing-masing akan mendapat hadiah sebuah buku bestseller nasional. Tiga tulisan terbaik itu, dibacakan oleh moderator dan disampaikan apa point hebatnya hingga panitia memilihnya jadi tiga terbaik. Ketika si moderator membacakan tulisanku dia memujinya habis-habisan, dia bilang tidak banyak orang yang memilih dan mampu menulis tentang topik tulisanku itu karena akan membutuhkan riset yang mendalam. Saat si moderator meneriakan nama penulis dan memintanya maju untuk menerima hadiah, harusnya uni melihat wajahnya yang terkejut setengah mati ketika melihat aku yang berdiri dan melangkah kedepan, dan rupanya si moderator adalah penulis buku besetseller yang kuterima” lanjut adikku dengan tawa berderai.

Aku ikut tertawa sambil meringis mendengar ceritanya. 

“hey…jangan senang dulu, kamu ‘menang’ di medan yang tak pas lagi untukmu” ucapku tergelak.

“dari apa yang kualami tadi, seperti yang pernah aku bilang ke uni, jangan pernah kita memandang rendah orang hanya karena tampilan luarnya. Pun saat kita sudah mampu membaguskan tampilan luar, maka jangan merusaknya dengan nilai buruk apa yang ada didalam diri kita”, ujarnya berubah serius.

“siap doktorrr..”, sahutku meledeknya.

Adikku mengacungkan tinju sambil tertawa dan berlalu menuju kamarnya. 

Beberapa tahun lalu, satu bulan selepas wisuda sarjananya, adikku diterima menjadi wartawan di salah satu surat kabar nasional terkemuka. Meski sangat menikmati pekerjaannya namun akhirnya ia memilih mematuhi permintaan ibuku yang menginginkan adikku berhenti dari pekerjaanya, meski belum genap setahun ia mengecap profesi wartawan itu. Ibu sangat cemas karena pada masa itu sedang ramai-ramainya pemberitaan wartawan yang di culik dan dianiaya. Situasi politik juga sedang memanas. Puncak kecemasan ibu adalah ketika adikku menulis tentang kasus penyeludupan rotan oleh salah satu petinggi negeri ini. 

Dua bulan kemudian adikku sudah bekerja di sebuah Bank asing. Bekerja kantoran seperti yang di harapkan ibuku. Adikku tipikal pekerja keras dan cenderung perfeksionis. Tapi tetap saja ia merasa pekerjaannya monoton. Di tahun ketiga saat ia sudah masuk di jajaran staff eksekutif perusahaan, adikku memilih mengundurkan diri untuk melanjutkan kuliah S2 di salah satu negeri di Eropa, melanjutkan bidang pendidikan S1-nya yaitu Hubungan Internasional. Saat sedang kuliah di program master itulah adikku dipertemukan Allah dengan penulis buku 99 cahaya di langit Eropa yang saat itu akan syuting film disana. Management PH film tersebut mengontak adikku untuk membantu mengurus proses perijinan syuting dan perekrutan artis lokal Negara tersebut. Itulah awal persahabatan adikku dengan si pemilik 99 cahaya di langit eropa, beserta suami sang penulis. 

Tesis yang ditulis adikku saat menyelesaikan S2 ternyata menarik perhatian kampusnya yang kemudian memberikan beasiswa penuh untuk melanjutkan ke program doktoral di kampus yang sama. Saat ini adikku sedang melakukan riset untuk Disertasinya, dan ia memilih kembali ke negaranya untuk lokasi riset tersebut. Itulah sebabnya kemarin pagi adikku bisa menggantikanku mengikuti writing workshop itu. Dari penampilannya adikku terkesan santai sedikit cuek malah. Saat mengikuti workshop ia memakai blus gombrong dipadu celana jeans dan sepatu kets juga tas ransel. Rambut sebahunya dikuncir ekor kuda. Begitulah keseharianya. Dengan penampilannya itu wajar sih kalau orang tak berpikir adikku memiliki tulisan-tulisan di jurnal internasional, bahkan pernah berkolaborasi dengan profesornya untuk menulis sebuah buku yang kemudian masuk nominasi buku rujukan ilmiah pada universitas di negara-negara Andalusia sana. 

Tentang pesan adikku ini,
Jangan memandang rendah orang hanya karena tampilan luarnya. Pun saat kita sudah mampu membaguskan tampilan luar, maka jangan merusaknya dengan nilai buruk karena apa yang ada didalam diri kita.
Aku akan selalu mengingatnya.